Sabtu, 14 April 2012

Orang Ketiga (Based on a True Story)


Malam ini kubulatkan tekad untuk 'ngapel' ke kostan Sasha sendiri, selain karena teman-temanku yang mendesak setelah peristiwa Beny yang menyatakan cintanya pada Mita, gebetannya juga karena selama ini aku hanya bertemu Sasha di kampus, tapi meskipun satu jurusan, aku ini mendapat jadwal kuliah dari sore hingga malam. Sedangkan Sasha mendapat jadwal kuliah dari pagi hingga siang. Jadi, kami sangat jarang bertemu kecuali ketika sedang ada rapat Hima jurusan kami. Kalaupun bertemu di kostannya, pastilah beramai-ramai dengan teman-teman yang lain seperti Wibowo, Ismail, Mulya, Ditra, Rudi, Yulis dan yang lainnya. Padahal aku kan sedang dalam masa penjajakan alias PDKT dengan Sasha.

Tapi aku sadar, aku ini kaku, serba salah, dan sering kebingungan jika menghadapi Sasha. Maka dari itu, aku seringkali meminta saran dari teman-temanku. Aku jadi teringat apa kata Ismail

"lo kebanyakkan teori, Wir! Nggak ada geraknya! Udah tau Sasha banyak yang ngincer!" begitu katanya kepadaku ketika untuk kesekian kalinya aku mencurahkan kesulitanku dalam mendekati Sasha.

Memang sih, kalau tidak bergerak cepat, bukan mustahil Sasha akan menjadi pacar orang. Dari yang sudah kudengar saja, ada dua orang yang mendekati Sasha saat ini. Fadly anak kelas B dan Barry anak kelas A. Jika dibandingkan dengan kedua orang itu saja, aku pesimis bisa mendapatkan Sasha. Selain karena mereka berdua mendapat jadwal kuliah yang sama dengan Sasha, aku juga pesimis karena hubunganku dan Sasha benar-benar monoton dan seperti teman biasa saja. Dan lagi, aku sempat mendengar kabar burung kalau Fadly sudah bilang suka pada Sasha. Dasar playboy! Sudah punya pacar, masih mengumbar rasa ke cewek lain. Sasha kan jatahku!

Aku memang benar-benar cowok yang tergolong payah kalau tak mau dikatakan perlu dikasihani. Di hadapan cewek, aku selalu dihinggapi penyakit bisu. Bingung mau berkata apa. Kalau toh ada kalimat-kalimat yang hendak aku ucapkan, tiba-tiba bibirku jadi sulit untuk bergerak. Kalau sudah mau bergerak sedikit, ganti otakku yang mendadak kosong. Payah!

Masalah komunikasi terasa sekali mengganjal aktivitasku untuk menjalin hubungan yang lebih intim. Padahal aku ini mahasiswa komunikasi semester 2, tetapi sekadar untuk bisa bercakap-cakap dengan lancar saja, aku sudah mengalami kesulitan. Bagaimana nanti jika aku ingin menyatakan cinta? Halah!

Misalnya saja dengan Sasha ini, gadis berjilbab yang saat ini sedang duduk di depanku dibatasi meja tamu. Sorot matanya benar-benar membuatku gugup. Mestinya aku langsung saja mengungkapkan isi hatiku padanya, tapi tak bisa. Tak tahu bagaimana memulainya.

Malam ini, maksudku sejak aku duduk di depan Sasha, baru beberapa patah kata yang aku ucapkan.
Aku meneguk sedikit teh yang disuguhkan Sasha "apa kabar?" basa-basi macam apa ini!?

Sasha menatapku dengan sorot mata yang membuatku tambah gugup "dari rrrumah, Wirrr?" Sasha itu kalau ngomong 'r' nggak bisa tipis, pasti banyak. Istilahnya, cadel! Tapi kekurangannya itu salah satu hal yang sangat aku sukai.

 "iya"

Aduh, bodohnya aku! Harusnya aku menjawab lebih panjang. Misalnya saja aku karang cerita bahwa aku sempat mampir ke kostan Ditra dan menolak ajakannya nongkrong di alun-alun kota. Bukannya dengan begitu mudah-mudahan Sasha jadi paham bahwa aku lebih mementingkan dia dibanding ajakan Ditra? Tapi ternyata yang meluncur dari mulutku cuma satu kata pendek yang bunyinya: ya!

Tanganku benar-benar berkeringat dingin. Gugup sekali rasanya berbicara dengan Sasha. Aku berusaha keras mengingat advis Ismail untuk bisa menghilangkan kekakuan dan membuka jalur komunikasi sambung rasa. Ya, sambung rasa! Istilah yang bullshit sekali.

Padahal teman-temanku sudah memberi banyak sekali cara untuk bisa mencairkan kekakuan dan bahkan mendekatkan diri dengan Sasha. Tapi, ya itu dia aku juga bingung. Advis-advis itu menguap begitu saja! Satupun tidak ada yang aku ingat. Tapi, tiba-tiba muncul ide cemerlang di kepalaku.

Cerita!

Aku ingat Rudi pernah bilang kepadaku supaya aku bercerita apa saja pada Sasha. Boleh cerita karangan atau cerita sungguhan. Tak perlu yang aneh-aneh dan hebat-hebat, cukup cerita keseharian saja. Katanya, itu sudah cukup untuk memancing pembicaraan yang lebih serius, minimal mencegah kebisuan yang memalukan. Cerita apa ya? Cucian yang belum kering? Atau cerita tentang aku yang pernah menggelapkan uang SPP saat SMA untuk bermain game? Kok malu-maluin ya?

Ah, asal saja!

“Sha…”

“Hm?” Sasha bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari Blackberry-nya.

Dia juga kaku!

“Mau nggak denger cerita gue?” Tanyaku masih patah-patah.

“Cerrrrita apa?”

“cerita sungguhan nih…”

“trrrrrue storrrry ya?” Sasha tersenyum. Duh, manisnya cewek ini kalau tersenyum.

“iya, true story!”

“cerrrita deh”

“hhhmmmm, waktu itu gue lagi duduk di teras rumah sambil minum kopi…” awal macam apa ini?! Rutukku dalam hati “di depan rumah gue ada perempuan”

“perrrempuan kenapa?”

“rambutnya panjang”

“terrrus kenapa?”

“dia jalan tapi nggak ada kepalanya!” kata-kata itu meluncur begitu saja. Dasar Wira bodoh! Rutukku 
lagi.

Di luar dugaan, Sasha terbelalak. Lalu ngakak. Tertawa sekeras-kerasnya.

“gak percaya yah?” kataku bingung.

“Lo lucu banget sih, Wir!”

“itu kan cerita serem kok malah lucu?”

“lo bilang perrrempuan itu nggak ada kepalanya?” Sasha ngakak lagi “lo ini ngelawak, Wir!”

Aku mengerutkan kening “Kok?”

“Kalo nggak ada kepalanya, gimana lo tau kalo perrrempuan itu rrrambutnya panjang?!” Sasha ngakak lagi.

Astaga! Pantas saja Sasha terbahak. Konyol sekali ceritaku itu. Benar-benar konyol! Tapi melihat 

Sasha masih tertawa, aku jadi merasa lucu dan ikut tertawa.

Kami. Berdua. Tertawa.

Dan aku tahu, inilah saatnya.

“Sha, gue mau ngomong…”

“apa? Jangan yang serius-serius ya! Ngelawak lagi aja!” Sasha mengusap matanya yang basah 
karena air mata tawa tadi.

“gue…gue suka sama lo. Gue sayang sama lo”

“ah, basi! Ngelawak lagi!” Sasha tertawa.

Aku melongo “gue serius, Sha…”

“udah ah jangan gombalin gue deh”

“Sha, gue serius! Gue suka, sayang, cinta atau apapun lah itu sama lo! Gue peduli sama lo! Lo liat tangan gue gemeteran, Sha ngomong ini ke elo!” aku tak berbohong. Tanganku memang entah kenapa bergetar terus. Mungkin gugup.

Sasha terdiam.

“gue bener-bener suka sama lo dari dulu…”

“darri dulu? kenapa lo barrru bilang sekarrrang?” kata Sasha

Aku speechless.

“gue nggak bisa terrrima lo sekarrrang, Wirrr…” katanya lagi.

DEG! Sesuatu dalam dadaku terhantam.

“gue…” Sasha menarik nafas “gue udah punya pacarrr…”

Aku menganga “siapa, Sha?” aku benar-benar tak bisa menyembunyikan kekagetanku.

“Barrry…”

“Barry?! Temen sekelas lo itu?” Sasha mengangguk “kapan?”

“barrru semingguan ini, Wirrr…”

“kok…bisa?”

“ya bisa! Selain itu…” Sasha menelan ludah “gue masih suka keinget Tyas, Wirrr”

“mantan lo? Tyas?” Sasha masih mengingat mantannya yang brengsek itu?! Tyas yang memutuskannya setelah setahun hubungan mereka hanya karena tergoda gadis lain itu benar-benar seorang bajingan! Dan sekarang, seakan belum cukup menyakiti Sasha dengan meninggalkannya, Tyas juga membuat Sasha mengingatnya hingga sekarang.

“itu lo tau” Sasha tersenyum.

“Kalo masih keinget mantan, kenapa lo nerima Barry?”

“dia bisa buat gue comforrrt, Wirr. Biarrrpun ada Barrry sekarrrang. Tapi, gue kayaknya masih 
condong ke Tyas, Wirrr”

Aku terdiam. Jika Sasha masih teringat Tyas lalu menerima Barry. Itu berarti Barry hanya dijadikan pelarian semata oleh Sasha! Rumitnya ini semua.

Lalu hening selama beberapa menit di antara kami.

Aku meremas-remas tangan di kantong. Dadaku sesak, sakit, nyeri “udah malem, gue pulang ya, Sha…” aku bangkit.

Sasha mengantarku ke pagar tanpa bicara sepatah kata pun.

“makasih, Sha buat malem ini”

Sasha mengangguk “gue juga makasih udah nemenin gue, Wirrr…”

Aku baru berjalan beberapa langkah ketika aku ingat sesuatu “Sha!” aku berbalik tepat sebelum dia menutup pagar.

Aku tersenyum getir padanya. Pasrah “gue tau kok lo bakal jawab gabisa nerima gue”

Sasha terdiam lagi. Mendengarkan.

“gue cuma mau ngasih tau lo perasaan gue. Gue butuh lo denger ini…” Aku menarik nafas panjang “I loved you since I met you, but I wouldn't allow myself to truly feel it until today. I was always thinking ahead, making decisions soaked with fear... Tonight, because of you... what I learned from you; every choice I made was different and my life has completely changed... if not for today, if not for you I would never have known love at all... So thank you for being the person who taught me to love...” kata-kata itu mendesing keluar dari mulutku seperti peluru. Entah darimana kata-kata ini aku dapatkan.

Sasha ternganga “Wirrr, gue nggak tau harus bilang apa”

“lo gak perlu ngomong apa-apa, gue udah bilang kan? Gue cuma mau ngasih tau doang kok”

“Wirrr… Makasih banget” kata Sasha sebelum aku berbalik lagi.

“buat?”

“For loving me and care about me…” Sasha tersenyum. Manis sekali. Aku tahu itu senyum dari hatinya.

"kalo lo butuh gue, inget aja kalo gue selalu berusaha ada buat lo. Apapun yang lo lakukan, pintu hati gue akan selalu terbuka buat lo" aku meremas tanganku di kantong “ oh ya, you know? It’s easy to love a girl like you…” aku pun berbalik dan terus berjalan tanpa menoleh lagi.





P.S ini based on true story loh, dengan beberapa pengubahan tentunya. Temen-temen kampus gue yang peka pasti tau siapa tokoh-tokoh di cerpen ini. Hehehehe. Buat yang nyadar, no offense yak! piss love and gaul! Salam! :-)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar