Sabtu, 05 Maret 2011

Postingan di Hari Minggu

Assalamualaikum, Bismillah... (awalnya kok kayak khutbah aja ya? -_-)
hahaha

oke, hari ini Minggu...
Sunday, Ahad...
1 hari ini mau gue manfaatin sebaik-baiknya buat refreshing.
Kenapa? karena satu bulan ini gue stress banget! pusing gara-gara pengayaan soalnya gue udah menjelang UN nih. Doain yak gue lulus...

Oh, ya 2 hari kemaren gue abis mabit di sekolah.
And you know what? mabit itu biking gue bahagia, semangat !!!!
di mabit itu gue dapet semangat baru, motivasi baru yang bisa bangkitin semangat gue lagi...
Selain karena hadirnya Pak Safrial, S.Ag satu-satunya guru yang gue kangenin, beliau ngisi acara sebagai motivator (pemotivasi) dan muhasabahtor (oke, gue tau ini ngasal) hahaha. Dan kehadiran beliau sukses bikin gue semangat lagi. (walau nangis juga haha)
Bukan cuma Pak Safrial yang bikin gue semangat, tapi juga Bang Ashadi. Beliau juga bikin gue termotivasi dengan cerita 'keberhasilannya' yang tertunda. Salut dan sukses selalu buat Bang Ashadi!!!
Ada 1 orang lagi yang bikin gue termotivasi tapi gak bisa gue sebutin soalnya takut orangnya baca kan gawat -_-"

oh iya bloggers, gue juga lagi on the way nyelesaiin naskah2 cerita gue baik cerpen atau novel. Novelnya sih masih lama soalnya gue bikin 3 sekaligus (ketauan gak konsisten) gara-gara gue suka kehilangan inspirasi di tengah-tengah kalo nulis. Tapi, gue janji naskah pertama yang bakal gue post di blog ini cerpen. Judulnya sih belum gue tentuin tapi masih berkisar tentang kisah sekolah gue yang rada gue karang-karang. Dan tokohnya juga gue ambil dari salah satu calon novel gue. Nama tokoh utamanya itu *****A. Nah, pasti tau kalo orang yang kenal gue baca postingan gue ini. ^^
3 minggu dari sekarang gue bakal nyoba ngejar deadline itu (di tengah kesibukan gue 'belajar' -.-)

Ok, tomorrow back to the hell. Eh, heaven pas istirahat soalnya kalo istirahat ada bidadari ^^

Karawaci, 6 Maret 2011
Agus Rhesa Rudiansyah

Ajaran Mama

Tadi lagi iseng-iseng browsing nemu cerita bagus...
Simak deh:

Seorang Ibu terduduk di kursi rodanya suatu sore di tepi danau, ditemani Anaknya yang sudah mapan dan berkeluarga.

Si ibu bertanya " itu burung apa yg berdiri disana ??"
"Bangau mama" anaknya menjawab dengan sopan.
Tak lama kemudian si mama bertanya lagi..
"Itu yang warna putih burung apa?"
sdikit kesal anaknya menjawab " ya bangau mama?..."

Kemudian ibunya kembali bertanya
" Lantas itu burung apa ?" Ibunya menunjuk burung bangau tadi yg sedang terbang...

Dengan nada kesal si anak menjawab "ya bangau mama. kan sama saja!..emanknya mama gak liat dia terbang!"

Air menetes dari sudut mata si mama sambil berkata pelan.."Dulu 26 tahun yang lalu aku memangku mu dan menjawab pertanyaan yg sama untuk mu sebanyak 10 kali,..sedang saat ini aku hanya bertanya 3 kali, tapi kau membentak ku 2 kali.."

Si anak terdiam...dan memeluk mamanya.

Pernahkah kita memikirkan apa yg telah diajarkan oleh seorang mama kepada kita? Sayangilah Mama/Ibu-mu dgn sungguh2 krn sorga berada di telapak kaki Ibu.

Mohon ampunan jika kamu pernah menyakiti hati Ibumu.
Dan teruskan kepada Orang2 yg perlu membaca renungan ini.

*Pernah kita ngomelin Dia ? 'Pernah!':s

*pernah kita cuekin Dia ? 'Pernah!'>:/

*pernah kita mikir apa yg Dia pikirkan?

'nggak!':/

* sebenernya apa yg dia fikirkan ?

'Takut':(

- takut ga bisa liat kita senyum , nangis atau ketawa lagi.

- takut ga bisa ngajar kita lagi

Semua itu karena waktu Dia singkat..

Saat mama/papa menutup mata. Ga akan lg ada yg cerewet.:(

Saat kita nangis manggil2 dia , apa yg dia bales ?

'Dia cuma diam':(

Tapi bayangannya dia tetap di samping kita dan berkata : "anakku jangan menangis, mama/papa masih di sini. Mama/papa masih sayang kamu.":(

Jadi inget muhasabah tadi shubuh...
-_-

Karawaci, 5 Maret 2011
Agus Rhesa Rudiansyah

Kamis, 03 Maret 2011

SETAHUN BERSAMA MATAHARI

Bulan pertama
            Aku Bulan. Bertemu dengannya secara tidak sengaja ketika sama-sama menyeberang jalan dan tanganku tersenggol oleh tangannya.
                Dia mengenakan kacamata hitam. Aneh, laki-laki tampan itu mengenakan kacamata hitam pada sore yang sudah mendung.
                Di ujung jalan, seseorang menyambutnya. Sambil bertepuk tangan dan pada akhirnya memeluknya.
                “kamu berhasil menjadikan ujung-ujung jemarimu sebagai pengganti matamu, Nak. Mereka jumlahnya lebih banyak, kan? lain kali, gunakan juga mata hati dan seluruh indramu. Hingga ketika ujung jemarimu ngambek dan tidak dapat membantumu, kamu bisa menggunakan yang lain”
                Aku mengerutkan kening. Pembicaraan yang aneh, tapi menarik.
                Aku Bulan. Gadis yang selalu tertarik oleh hal-hal yang memang menarik. Maka aku berdiri diam di ujung jalan dekat lampu merah menyaksikan laki-laki itu.
                “kamu harus jadi anak Ibu yang tidak bergantung pada siapapun”
                Oh, jadi wanita paruh baya itu ibunya? Dan laki-laki manis berkacamata hitam itu hanya menganggukkan kepalanya.
                “kebutaan bukan suatu beban, Nak”
                Oh, jadi si manis itu buta?
                “bukan begitu, gadis manis?  Bukankah kamu juga tidak membedakan laki-laki buta dan yang bisa melihat?”
                Pertanyaan itu ditujukan untukku.
                “Nak, ada gadis yang sangat manis sedang memperhatikanmu. Siapa namamu, Nak?”
                “Bulan” jawabku
                “Bulan dan Matahari. Mungkin kalian dipertemukan untuk bersatu” ujar wanita paruh baya itu seperti sedang berdoa.

            Bulan kedua
            “kamu pikir kamu lebih istimewa dibandingkan Hujan? Aku lebih memilih Hujan karena aku sudah membuat hidupnya menderita” Bintang melemparkan kado pemberianku. Tepat mengenai wajahku.
                “kamu pikir aku tidak akan kuat bertahan di samping Hujan?”
                Aku tertawa dalam hati. Pertanyaan yang lucu. Dia sudah membuat keputusan, jelas tidak perlu bertanya lagi kepadaku.
                “kamu pikir aku akan kembali lagi padamu?”
                Aneh. Bintang menduakan aku dengan Hujan, berboncengan motor dan motor itu terselip truk. Seperti di cerita sinetron, Hujan patah kakinya. Diamputasi dan Bintang jelas saja harus rela menghabiskan waktu untuknya.
                “kamu pikir…” Bintang mengoceh lagi
                Aku jadi berpikir soal Matahari. Laki-laki mannis yang oleh ibunya diperkenalkan kepadaku dan ibunya menyelipkan kartu nama di tanganku.
                Sepertinya dia lebih istimewa dibandingkan Bintang.
                Bulan ketiga
            “Ibu sudah mengira kita akan bertemu lagi”
                Ibunya menyambutku ramah. Di depan pintu rumahnya yang sederhana setelah aku menelepon satu jam yang lalu.
                “kasihan Matahari. Anak itu buta karena menjadi korban tabrak lari dan saraf matanya rusak”
                Laki-laki itu berada di teras. Sepertinya sedang melamun.
                “jadilah bagian hidupnya, Nak. Jadilah denyut lain untuk kehidupannya hingga ia tidak menyesali kehidupannya pada masa mendatang”
                Aku tersenyum. Ibu ini hiperbolis karena aku hanya seorang mahasiswi tingkat 4 tapi tak dapat kusangkal, ibu ini baik, alangkah menyenangkan memiliki ibu baik seperti ini.
                “dia pernah punya kekasih. Tapi perempuan itu menghilang setelah Matahari buta”
                Laki-laki itu manis, meskipun garis wajahnya tegang dan kaku.
                “siapa, Bu?” Matahari menengok kearah kami.
                “seseorang yang dikirim Tuhan untukmu, Nak” ujar Sang Ibu sambil merangkul bahuku dan aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum
               
                Bulan keempat
            Namanya Matahari.
                Laki-laki diam dan dingin. Kontras dengan namanya.
                Aku, Bulan. Sama sekali tidak menemukan kehangatan dengannya kecuali hanya kegersangan.
                “jadi, ibuku mengemis-emis cinta padamu?”
                Bicaranya kasar. Ibunya bilang kekasaran itu karena ia belum bisa menerima kebutaannya yang tiba-tiba.
                “Ibuku bilang kamu manis. Pacar-pacarku yang dahulu tidak hanya manis, tapi juga manis”
                Aku tersenyum kecut, menahan dongkol dalam hati. Dan rasa ingin berkata bahwa setelah kebutaannya tidak mungkin gadis cantik mau bersanding dengannya.
                “jadi, kamu jatuh cinta padaku?”
                “jadi, ibumu bilang apa?” tanyaku seperti menantang. Tidak akan ada harga diriku jika hanya diam dan menerima setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya saja.
                “mau kamu manis atau cantik aku tidak peduli” Matahari mengibaskan tangannya “aku sudah tidak suka yang manis-manis sekarang. Hidupku sudah pahit”
                Namanya Matahari.
                Sebenarnya dia laki-laki yang manis.
                Kami dekat. Tapi siapa menjamin kalau kedekatan itu memunculkan getar cinta di hatiku?

                Bulan kelima
            “kalian jadilah sepasang kekasih yang baik-baik. Restu Ibu akan selalu menyertai kalian”
                Ibu yang baik itu menggandeng tangan kami pada suatu sore ketika penyakit batuknya tidak sembuh-sembuh.
                “dulu Ibu perokok. Dan setelah itu, dokter memvonis Ibu terkena kanker paru-paru. Kalau Ibu sudah tidak ada…” suara batuk memilukan memotong kata-katanya “pada siapa Ibu harus serahkan anak yang buta ini untuk diberi kasih sayang?”
                “Matahari kan sudah cukup besar, Bu” kata Matahari
                “tidak cukup besar untuk menderita!” hardik Ibunya tajam lalu ia menghela nafas sejenak “penderitaan bukanlah bagian hidupmu, Nak” suaranya melunak
                “maka sembuhlah, Bu” kataku
                “kalau ada biaya, Nak, maka Ibu akan meminta agar kebutaan Matahari disembuhkan dahulu”
                Matahari diam.
                Menerawang
                Aku pun juga diam berpikir.

                Bulan keenam hingga bulan kedelapan
            “Nak, tetaplah mencintainya. Sakit Ibu tidak sembuh-sembuh juga. Terima kasih untuk membiayai penyakit Ibu. Maklumlah, setua Ibu….”
                Ibu yang baik dan lembut. Tahukah bahwa yang ada di hati sebenarnya hanyalah kasihan?
                “Nak, kalau Ibu sudah tidak bisa menjaganya, jagalah Matahari hingga kapanpun”
                “jangan bicara seperti itu, Bu”
                “lalu apa yang mesti Ibu bicarakan kalau bukan hanya tentang penyakit Ibu yang semakin lama semakin parah saja?”
                Aku diam.
                Dan memang sepantasnya diam.

                Bulan kesembilan         
            “jadi, kamu perempuan itu….”
                Aku memandang gadis di depanku ini dengan pandangan bingung.
                Kami bertemu di depan rumah Matahari ketika aku baru saja menju pulang.
                “jadi, kamu yang membuat hatinya berpaling?”
                Sungguh, aku tak mengerti.
                “jadi, kamu yang membuat aku tidak direstui lagi. Keterlaluan…”
                Gadis itu marah. Meledak-ledak. Dan tiba-tiba tangannya melayang ingin menamparku jika saja aku tidak menepisnya.
                “dia itu masih kekasihku….”
                “yang  meninggalkannya setelah kebutaannya kan?”
                “hah?” gadis itu melongo
                “yang meninggalkannya setelah kebutaannya?” ulangku
                Gadis itu terbahak keras dan meninggalkanku sendiri. Aku hanya dapat menatapnya menjauh heran.

               
Bulan kesepuluh
            Di luar hujan ketika kami sama-sama diam duduk di teras.
                Sejak tadi.
                Tanpa percakapan.
                “carilah laki-laki lain….”
                Ia manis. Namanya Matahari. Laki-laki yang saraf matanya rusak dan membuat dunianya gelap.
                “carilah laki-laki lain. Ibu memang selalu begitu. Selalu menganggap bahwa pilihannya membuat aku bahagia”
                Aku Bulan, hanya diam.
                “kata Ibu, kamu manis…”
                Ia kasar. Kadang membentak. Entah kenapa aku mau bertahan di sampingnya?
                “ibu memang sedang sakit…”
                Ibu yang baik itu sedang ke dokter setelah aku serahkan setengah tabunganku untuk biaya berobatnya. Wanita yang malang. Tak bisa bekerja lagi setelah dokter memvonis penyakitnya sudah parah.
                “jadi, kita putus saja…”
                Aku diam.
                Entah kenapa aku hanya ingin berdiam diri saja.

                Bulan kesebelas
            Rumah itu kosong. Rumah yang beberapa bulan lalu sering aku singgahi untuk menyaksikan seorang laki-laki menatapi hidupnya yang gelap.
                ‘”kosong dari kemarin” ujar pak tua sebelah rumah yang ternyata pemilik ‘asli’ rumah itu “entah pindah kemana. Kemarin-kemarin juga banyak yang datang. Mau menagih utang seperti yang lain?”
Aku menggeleng.
                “tapi mereka kan sakit?”
                “sakit apa?”
                “kanker…”
                “kantong kering, Neng” pak tua itu menepuk bahuku “zaman sekarang banyak yang kena penyakit seperti itu”
                Aku sungguh tak mengerti.

            Bulan kedua belas
                Aku, Bulan dan dia Matahari akhirnya bertemu lagi. Tepatnya aku melihatnya dan ia tak melihatku.
                Cukup dari jauh saja.
                Ibu dan anak itu saling berangkulan. Sang anak membawa tongkat. Kelihatannya kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan.
                Seperti sebelumnya, ibu itu menyemangati sambil bertepuk tangan setiap langkah yang dibuat anak itu.
                Lalu ada seorang gadis terkesima.
                Lalu…
                “Matahari tidak buta. Buta bohongan. Ibu sama anak itu kerjaannya memang begitu. Menipu gadis-gadis yang kelihatan mampu untuk menguras habis uangnya” perkataan pak tua kemarin membuatku tersadar.
                Setahun.
                Hampir setahun.
                Memang tidak ada luka karena tidak tumbuh cinta. Hanya saja ada benci yang tumbuh cepat karena sebuah pemanfaatan.
END

post cerpen yang gue bikin setelah dapet inspirasi tiba2 abis baca buku cerpen hahaha....
ini cerpen yang gue bikin waktu itu gara2 tugas nya Bu Ismar...
jadi ini kepepet bgt bikinnya...
bagus gak yaks? hahai
komentar2....

Karawaci, 3 Maret 2011
Agus Rhesa Rudiansyah


Everything will be allright


Di luar hujan.
Di luar mendung.
Di luar ga ada matahari.
Tapi syukurilah itu, karena tanpa mendung kita gak akan bisa ngeliat ujan.
Dan tanpa hujan, kita nggak akan bisa ngeliat indahnya pelangi.

Itulah.
Allah emang Maha Adil.
Ketika sesuatu yang kita anggap buruk datang, jangan memaki dan ngomong kalo Allah gak adil. Justru hal itu menunjukkan betapa Allah sayang sama kita.
Karena setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Dan kalau Allah udah ngasih kemudahan, niscaya ga akan pernah ada yang sulit dan buruk. Semua bakal indah.
Indah pada waktunya
:D

Minggu, 27 Februari 2011
Tol Jakarta-Merak
Agus Rhesa Rudiansyah

Pelajaran


Malem ini, gue dapet pelajaran berharga. Banget.
Oke, biar nggak salah terka mending gue ceritain kronologinya.
Tadi jam 7 an gue berangkat dari rumah ke supermall. Disana gue nemenin nyokap belanja. Biasalah ibu2. Nah, satu jam kemudian, tepatnya jam 8 malem lewat 7 menit waktu hape gue dateng sebuah sms dari Nadia, tetangga gue. Isinya :
'Rhesa, bokapnya Wawa binong meninggal...'
Sumpah, abis baca sms ini gue shock lebih tepatnya kaya ga percaya gitu.
Pas gue kasih tau nyokap-bokap, mereka lebih shock lagi...
Ga nyangka Pak Deden (nama bokap Wawa temen gue) bisa pergi secepat itu. Iyap, soalnya Pak Deden ini umurnya lebih muda beberapa tahun daripada bokap gue. Jadi, gue rasa wajar kalo bokap kaget ngedengernya.
Singkat cerita, gue langsung cabut bareng keluarga ke binong permai (FYI: tempat gue ngabisin masa kecil gue selama 12 tahun) blok k4 no 1 itu alamat Wawa.
Setibanya gue disana, suasananya bikin gue merinding. Bukan karena serem, tapi suasananya tuh sedih banget. Kelam.
Oke lanjut....
Waktu gue sampe, jenazah almarhum belum tiba. Masih di RS kata orang2.
Kira-kira 10 sampe 15 menit kemudian, suara ambulance kedengeran keras tuh. Ternyata, jenazah almarhum sudah tiba.
Disini gue tambah merinding dan pas gue liat bokap, gue nangis sejadi-jadinya di pundak bokap.
Sumpah, waktu itu gue takut setengah mati. Takut gue ngerasain hal yang sama. Oke, kematian memang pasti. Tapi, gue nggak bisa ngebayangin ditinggal bokap pada waktu dekat ini.
Astaghfirullah....

Emang bener kata orang2. Jangan suka ngelawan sama ortu. Baik nyokap atau bokap karena kalo salah satu dari mereka pergi, kalian bakal nyesek setengah mati.

Binong
Sabtu, 26 Februari 2011
Agus Rhesa Rudiansyah