Bulan pertama
Aku Bulan. Bertemu dengannya secara tidak sengaja ketika sama-sama menyeberang jalan dan tanganku tersenggol oleh tangannya.
Dia mengenakan kacamata hitam. Aneh, laki-laki tampan itu mengenakan kacamata hitam pada sore yang sudah mendung.
Di ujung jalan, seseorang menyambutnya. Sambil bertepuk tangan dan pada akhirnya memeluknya.
“kamu berhasil menjadikan ujung-ujung jemarimu sebagai pengganti matamu, Nak. Mereka jumlahnya lebih banyak, kan? lain kali, gunakan juga mata hati dan seluruh indramu. Hingga ketika ujung jemarimu ngambek dan tidak dapat membantumu, kamu bisa menggunakan yang lain”
Aku mengerutkan kening. Pembicaraan yang aneh, tapi menarik.
Aku Bulan. Gadis yang selalu tertarik oleh hal-hal yang memang menarik. Maka aku berdiri diam di ujung jalan dekat lampu merah menyaksikan laki-laki itu.
“kamu harus jadi anak Ibu yang tidak bergantung pada siapapun”
Oh, jadi wanita paruh baya itu ibunya? Dan laki-laki manis berkacamata hitam itu hanya menganggukkan kepalanya.
“kebutaan bukan suatu beban, Nak”
Oh, jadi si manis itu buta?
“bukan begitu, gadis manis? Bukankah kamu juga tidak membedakan laki-laki buta dan yang bisa melihat?”
Pertanyaan itu ditujukan untukku.
“Nak, ada gadis yang sangat manis sedang memperhatikanmu. Siapa namamu, Nak?”
“Bulan” jawabku
“Bulan dan Matahari. Mungkin kalian dipertemukan untuk bersatu” ujar wanita paruh baya itu seperti sedang berdoa.
Bulan kedua
“kamu pikir kamu lebih istimewa dibandingkan Hujan? Aku lebih memilih Hujan karena aku sudah membuat hidupnya menderita” Bintang melemparkan kado pemberianku. Tepat mengenai wajahku.
“kamu pikir aku tidak akan kuat bertahan di samping Hujan?”
Aku tertawa dalam hati. Pertanyaan yang lucu. Dia sudah membuat keputusan, jelas tidak perlu bertanya lagi kepadaku.
“kamu pikir aku akan kembali lagi padamu?”
Aneh. Bintang menduakan aku dengan Hujan, berboncengan motor dan motor itu terselip truk. Seperti di cerita sinetron, Hujan patah kakinya. Diamputasi dan Bintang jelas saja harus rela menghabiskan waktu untuknya.
“kamu pikir…” Bintang mengoceh lagi
Aku jadi berpikir soal Matahari. Laki-laki mannis yang oleh ibunya diperkenalkan kepadaku dan ibunya menyelipkan kartu nama di tanganku.
Sepertinya dia lebih istimewa dibandingkan Bintang.
Bulan ketiga
“Ibu sudah mengira kita akan bertemu lagi”
Ibunya menyambutku ramah. Di depan pintu rumahnya yang sederhana setelah aku menelepon satu jam yang lalu.
“kasihan Matahari. Anak itu buta karena menjadi korban tabrak lari dan saraf matanya rusak”
Laki-laki itu berada di teras. Sepertinya sedang melamun.
“jadilah bagian hidupnya, Nak. Jadilah denyut lain untuk kehidupannya hingga ia tidak menyesali kehidupannya pada masa mendatang”
Aku tersenyum. Ibu ini hiperbolis karena aku hanya seorang mahasiswi tingkat 4 tapi tak dapat kusangkal, ibu ini baik, alangkah menyenangkan memiliki ibu baik seperti ini.
“dia pernah punya kekasih. Tapi perempuan itu menghilang setelah Matahari buta”
Laki-laki itu manis, meskipun garis wajahnya tegang dan kaku.
“siapa, Bu?” Matahari menengok kearah kami.
“seseorang yang dikirim Tuhan untukmu, Nak” ujar Sang Ibu sambil merangkul bahuku dan aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum
Bulan keempat
Namanya Matahari.
Laki-laki diam dan dingin. Kontras dengan namanya.
Aku, Bulan. Sama sekali tidak menemukan kehangatan dengannya kecuali hanya kegersangan.
“jadi, ibuku mengemis-emis cinta padamu?”
Bicaranya kasar. Ibunya bilang kekasaran itu karena ia belum bisa menerima kebutaannya yang tiba-tiba.
“Ibuku bilang kamu manis. Pacar-pacarku yang dahulu tidak hanya manis, tapi juga manis”
Aku tersenyum kecut, menahan dongkol dalam hati. Dan rasa ingin berkata bahwa setelah kebutaannya tidak mungkin gadis cantik mau bersanding dengannya.
“jadi, kamu jatuh cinta padaku?”
“jadi, ibumu bilang apa?” tanyaku seperti menantang. Tidak akan ada harga diriku jika hanya diam dan menerima setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya saja.
“mau kamu manis atau cantik aku tidak peduli” Matahari mengibaskan tangannya “aku sudah tidak suka yang manis-manis sekarang. Hidupku sudah pahit”
Namanya Matahari.
Sebenarnya dia laki-laki yang manis.
Kami dekat. Tapi siapa menjamin kalau kedekatan itu memunculkan getar cinta di hatiku?
Bulan kelima
“kalian jadilah sepasang kekasih yang baik-baik. Restu Ibu akan selalu menyertai kalian”
Ibu yang baik itu menggandeng tangan kami pada suatu sore ketika penyakit batuknya tidak sembuh-sembuh.
“dulu Ibu perokok. Dan setelah itu, dokter memvonis Ibu terkena kanker paru-paru. Kalau Ibu sudah tidak ada…” suara batuk memilukan memotong kata-katanya “pada siapa Ibu harus serahkan anak yang buta ini untuk diberi kasih sayang?”
“Matahari kan sudah cukup besar, Bu” kata Matahari
“tidak cukup besar untuk menderita!” hardik Ibunya tajam lalu ia menghela nafas sejenak “penderitaan bukanlah bagian hidupmu, Nak” suaranya melunak
“maka sembuhlah, Bu” kataku
“kalau ada biaya, Nak, maka Ibu akan meminta agar kebutaan Matahari disembuhkan dahulu”
Matahari diam.
Menerawang
Aku pun juga diam berpikir.
Bulan keenam hingga bulan kedelapan
“Nak, tetaplah mencintainya. Sakit Ibu tidak sembuh-sembuh juga. Terima kasih untuk membiayai penyakit Ibu. Maklumlah, setua Ibu….”
Ibu yang baik dan lembut. Tahukah bahwa yang ada di hati sebenarnya hanyalah kasihan?
“Nak, kalau Ibu sudah tidak bisa menjaganya, jagalah Matahari hingga kapanpun”
“jangan bicara seperti itu, Bu”
“lalu apa yang mesti Ibu bicarakan kalau bukan hanya tentang penyakit Ibu yang semakin lama semakin parah saja?”
Aku diam.
Dan memang sepantasnya diam.
Bulan kesembilan
“jadi, kamu perempuan itu….”
Aku memandang gadis di depanku ini dengan pandangan bingung.
Kami bertemu di depan rumah Matahari ketika aku baru saja menju pulang.
“jadi, kamu yang membuat hatinya berpaling?”
Sungguh, aku tak mengerti.
“jadi, kamu yang membuat aku tidak direstui lagi. Keterlaluan…”
Gadis itu marah. Meledak-ledak. Dan tiba-tiba tangannya melayang ingin menamparku jika saja aku tidak menepisnya.
“dia itu masih kekasihku….”
“yang meninggalkannya setelah kebutaannya kan?”
“hah?” gadis itu melongo
“yang meninggalkannya setelah kebutaannya?” ulangku
Gadis itu terbahak keras dan meninggalkanku sendiri. Aku hanya dapat menatapnya menjauh heran.
Bulan kesepuluh
Di luar hujan ketika kami sama-sama diam duduk di teras.
Sejak tadi.
Tanpa percakapan.
“carilah laki-laki lain….”
Ia manis. Namanya Matahari. Laki-laki yang saraf matanya rusak dan membuat dunianya gelap.
“carilah laki-laki lain. Ibu memang selalu begitu. Selalu menganggap bahwa pilihannya membuat aku bahagia”
Aku Bulan, hanya diam.
“kata Ibu, kamu manis…”
Ia kasar. Kadang membentak. Entah kenapa aku mau bertahan di sampingnya?
“ibu memang sedang sakit…”
Ibu yang baik itu sedang ke dokter setelah aku serahkan setengah tabunganku untuk biaya berobatnya. Wanita yang malang. Tak bisa bekerja lagi setelah dokter memvonis penyakitnya sudah parah.
“jadi, kita putus saja…”
Aku diam.
Entah kenapa aku hanya ingin berdiam diri saja.
Bulan kesebelas
Rumah itu kosong. Rumah yang beberapa bulan lalu sering aku singgahi untuk menyaksikan seorang laki-laki menatapi hidupnya yang gelap.
‘”kosong dari kemarin” ujar pak tua sebelah rumah yang ternyata pemilik ‘asli’ rumah itu “entah pindah kemana. Kemarin-kemarin juga banyak yang datang. Mau menagih utang seperti yang lain?”
Aku menggeleng.
“tapi mereka kan sakit?”
“sakit apa?”
“kanker…”
“kantong kering, Neng” pak tua itu menepuk bahuku “zaman sekarang banyak yang kena penyakit seperti itu”
Aku sungguh tak mengerti.
Bulan kedua belas
Aku, Bulan dan dia Matahari akhirnya bertemu lagi. Tepatnya aku melihatnya dan ia tak melihatku.
Cukup dari jauh saja.
Ibu dan anak itu saling berangkulan. Sang anak membawa tongkat. Kelihatannya kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan.
Seperti sebelumnya, ibu itu menyemangati sambil bertepuk tangan setiap langkah yang dibuat anak itu.
Lalu ada seorang gadis terkesima.
Lalu…
“Matahari tidak buta. Buta bohongan. Ibu sama anak itu kerjaannya memang begitu. Menipu gadis-gadis yang kelihatan mampu untuk menguras habis uangnya” perkataan pak tua kemarin membuatku tersadar.
Setahun.
Hampir setahun.
Memang tidak ada luka karena tidak tumbuh cinta. Hanya saja ada benci yang tumbuh cepat karena sebuah pemanfaatan.
END
ini cerpen yang gue bikin waktu itu gara2 tugas nya Bu Ismar...
jadi ini kepepet bgt bikinnya...
bagus gak yaks? hahai
komentar2....
Karawaci, 3 Maret 2011
Agus Rhesa Rudiansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar